Makna Ayat Pertama
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِ
Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat
kesempurnaan-Nya. Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak
pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan.
Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang
diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila
diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah.
Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan
ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang
mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara). Allahlah Zat yang memelihara
seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang
menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada mereka, memberikan nikmat
kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah
umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang jahat. Adapun
tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan
pengikut-pengikut mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga
memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing
keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong
mereka dengan menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang
akan menjauhkan mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi.
Allah memberikan kepada mereka berbagai kemudahan dan menjaga mereka
dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini
kepada Rabbul ‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu semua.
Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha
kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit dan di bumi ini
meminta kepada-Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan
lisannya maupun dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu
dan meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna Ayat Kedua
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah.
Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah memiliki
nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman, “Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180)
Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada
nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat
Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1)
Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah
dengan sifat makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi penetapan nama
dan sifat dan mengabaikan sisi penafian keserupaan sehingga terjerumus
dalam tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang yang
menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi
penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil (penolakan). Ahlusunnah
berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil yang menetapkan
nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan
keserupaan. Sehingga mereka selamat dari tindakan tasybih maupun
ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan Allah tanpa menolak nama
maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi tanpa
menyerupakannya dengan makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya
serta para imam dan pengikut mereka yang setia hingga hari ini. Inilah
aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran
dan penglihatan Allah tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan
makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena
Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan makhluk adalah sosok yang
penuh dengan kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan
penuh kekurangan karena disandarkan kepada diri makhluk yang diliputi
sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu sempurna karena
disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang tidak mau
mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya
telah berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak
mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan
jahat yang lebih tercela daripada tindakan menolak kandungan nama dan
sifat Allah ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini
Allah menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.
Makna Ayat Ketiga
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Artinya: “Yang Menguasai pada hari pembalasan.”
Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu
berhak untuk memerintah dan melarang orang-orang yang berada di bawah
kekuasaannya. Dia juga yang berhak untuk mengganjar pahala dan
menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah yang berkuasa untuk mengatur
segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya menurut kehendaknya
sendiri. Bagian awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan memanjangkan mim) atau Malik (dengan memendekkan mim). Maalik maknanya penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari
pembalasan karena pada saat itu seluruh umat manusia akan menerima
balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan sewaktu di dunia.
Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia kemahakuasaan
Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak sekali
kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat
itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia
sudah turun dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa.
Pada saat itu semuanya setara, baik rakyat maupun rajanya, budak maupun
orang merdeka. Mereka semua tunduk di bawah kemuliaan dan kebesaran-Nya.
Mereka semua menantikan pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka
sangat mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat
khawatir terhadap siksa dan hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh
karena itu di dalam ayat ini hari pembalasan itu disebutkan secara
khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan. Meskipun sebenarnya Allah
jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah tidak hanya berkuasa
atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keempat
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta pertolongan.”
Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya adalah na’buduka
yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat yang
seharusnya di belakang menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan.
Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menujukan
ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami
menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong
kepada-Mu dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah.
Ibadah bisa berupa perkataan maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang
tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan dan ridha Allah terhadap
sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya. Apabila Allah
memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya. Dan
sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak
cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas
cakupannya. Di antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah,
meminta pertolongan atau perlindungan, dan lain sebagainya. Dari
pengertian ini maka isti’anah atau meminta pertolongan juga termasuk
cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah di balik
penyebutan kata isti’anah sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam
ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata,
“Didahulukannya ibadah sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan
sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang lebih khusus. Dan juga
dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala di atas hak
hamba-Nya….”
Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah
dengan benar itu merupakan sarana yang akan mengantarkan menuju
kebahagiaan yang abadi. Dia adalah sarana menuju keselamatan dari segala
bentuk kejelekan. Sehingga tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali
dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap benar apabila
bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas). Dengan dua
perkara inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata
isti’anah setelah kata ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari
ibadah maka sebabnya adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan
dari Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya. Seandainya
dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk
melakukan perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang
dilarang itu tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Kelima
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus.”
Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta mengantarkan
orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil
menggapai surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim)
adalah memahami kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah,
tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di
atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah
supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama
yang lainnya. Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah hidayah untuk
bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan
begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan
merangkum berbagai macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba.
Oleh sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam
setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan
karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keenam
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat
yang lain disebutkan bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang
shiddiq/jujur dan benar, para pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’
ialah setiap orang yang diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala,
mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa saja yang dicintai-Nya,
mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga mendapatkan
taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan meninggalkan
hal-hal yang membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan mengantarkan
hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala. Inilah jalan Islam. Islam yang
ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan
menjauhi perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan
ayat ini kita kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini
merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa menjalani
Islam dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan sosok teladan yang
bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).
Makna Ayat Ketujuh
غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan
tetapi tidak mau mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan
semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat adalah orang yang tidak
mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan mereka.
Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam
ayat ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh
jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga memperingatkan kepada kita untuk
menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang
(lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al Quran.
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah
kami dari jalan orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar lagi Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam bish shawaab
0 komentar:
Posting Komentar