Fenomenologi Belajar: Pengajaran Yang Tidak Relevan Dengan Keahlian Guru Berdampak Negatif Terhadap Pembelajaran Siswa
Oleh
Ukfa Nur Udin
“.....maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.....” (Q.S Al-Hajj : 46).
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan Ilmu Hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti dari pada fenomenologi. Secara harfiah, fenomenologi fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme suku melihat suatu gejala tertentu dengan ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Manusia menumpukkan dirinya sebagai hal yang transenden (menonjolkan hal yang bersifat kerohanian), sintesa (paduan) dan obyek dan subyek. Manusia sebagai entri quman de (mengada pada alam) menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengkonstitusi alamnya untuk melihat suatu hal. Manusia harus mengkonversikan mata, mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal yang ingin dilihat. Salah seorang tokoh fenomenologi adalah Endmund Husserl (1859-1938), ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori ilmu "zuruck zu den sachen seibst", kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap obyek memiliki hakikat, dan itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemology, psikologi, antropologi dan studi-studi keagamaaan (kajian atas Kitab Suci).
Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya fenomena yakni bermakna gejala. Adapun gejala ialah sebuah peristiwa yang telah terjadi yang kemudian diamati oleh manusia tetntang hakikat apa yang ada di balik fenomena tersebut. Oleh karena itu fenomena sains pun bias dibuktikan dalam sunnah seorang nabi yang sangat luar biasa hebat dan itu juga karena kehendak Sang Pencipta. Nabi Muhammad bersabda yang artinya: "…ia tetap berada di tempatnya dan tidak berpindah dan bergeser…"
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwasanya Rasulullah pernah ditanya, kemana tenggelamnya benda-benda (angkasa) yang tenggelam itu, dan dari mana terbitnya benda-benda (angkasa) yang terbit itu? Beliau menjawab; ia itu berada di tempatnya, tidak berpindah dan bergeser. Ia tenggelam bagi satu kaum dan terbit bagi satu kaum yang lain, ia tenggelam dan terbit pada suatu kaum (dan dalam waktu bersamaan) satu kaum mengatakan ia tenggelam sementara kaum yang lain mengatakan ia terbit. (Musnad Imam Abiy Ishaq Al-Hamadaniy). Hadist ini menjelaskan bahwa matahari terus menerus terbit dan terbenam saling bergantian di atas permukaan bumi. Hal ini tidak mungkin terjadi kecuali jika bumi berbentuk bulat atau elips dan ia terus menerus berputar mengelilingi porosnya di hadapan matahari, sehingga terjadilah siang dan malam di atas permukaannya secara bergantian. Dan ini akan berlangsung hingga Kiamat tiba.
Fenomena terpenting dari kebulatan bumi adalah keragaman mathla' (posisi terbit). Lantaran keragaman horizon (cakrawala) sehingga matahari, bulan dan benda-benda angkasa lainnya menghilang dari penduduk bumi di satu kawasan dan terbit pada penduduk bumi kawasan lain. Benda-benda di angkasa ini beredar pada garis orbit tertentu, tidak bergeser dan pindah sedikitpun, persis sebagaimana firman Allah SWT: "Dan masing-masing beredar pada garis edarnya" (QS. Yasin (36): 40).
Penyampaian fakta-fakta alam ini dengan formulasi ilmiah yang cukup detail pada kurun waktu di mana telah berkembang luas keyakinan manusia akan kedataran dan bumi dari ketidakbergerakannya, termasuk salah satu pancaran sinar kenabian yang membuktikan kenabian dan risalah beliau. Tidak ada seorang pun di senanjung Arab pada zaman diturunkannya Wahyu bahkan berabad-abad setelahnya, yang mengetahui fakta "kebulatan" bumi dan rotasinya mengelilingi porosnya di hadapan matahari. Tidak ada juga yang mengetahui pergerakan bulan dan matahari atau gerakan benda-benda langit lainnya maupun bentuk riil dan manifestasi nyata pergerakan tersebut. Lingkungan Arab pada zaman Wahyu adalah lingkungan yang sangat primitive dan tidak mengenali ilmu pengetahuan secara umum maupun pengetahuan tentang alam semesta dan komponen-komponen secara khusus.
Harus kita sadari bersama bahwa masa depan bangsa ini terletak di tangan para pemuda. Masa sekolah adalah masa di mana seseorang ditempa untuk menyerap ilmu sebanyak-banyaknya sehingga nanti ketika masanya telah tiba untuk memegang kekuasaan/peranan yang penting di negeri ini, ia sudah siap dengan bekal yang ada. Bukan hanya masalah ilmu yang bersifat teoritis tetapi juga mental spiritual yang harus terbina pada masa-masa sekolah. Ada sebuah kata bijak mengatakan, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Indonesia sangat membutuhkan manusia-manusia yang berkarakter baik sebagai contoh. Mengingat lagi mengenai apa yang telah dikatakan oleh bapak pendidikan negara kita ini sejak puluhan tahun yang lalu bahwa pendidikan yang baik itu haruslah “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” akan tetapi pendidikan sekarang jauh dari apa yang dikandung dari pesan dari bapak pendidikan kita ini. yang terjadi sekarang justru guru-guru yang seharusnya menjadi contoh dalam pendidikan, mereka malah memberikan contoh sebaliknya.
Negara maju tentunya tidak terlepas dari dunia pendidikan. Semakin tinggi kualitas pendidikan suatu negara, maka semakin tinggi pula kualitas sumber daya manusia yang dapat memajukan dan mengharumkan negaranya. Sebenarnya, tidak ada perbedaan antara sumber daya manusia antara negara maju dan negara berkembang, yang berbeda hanyalah cara mendidik sumber daya manusia itu sendiri. Hal ini tentunya tidak telepas dari peran seorang guru. Hal yang terpenting namun sering terlupakan dari seorang guru dalam mendidik siswanya adalah kejujuran. Bohong adalah bibit korupsi, dan menyontek adalah perilaku korupsi kecil. Apakah seorang guru yang membiarkan siswanya menyontek telah mendidik siswanya berperilaku jujur? Lihatlah, banyak siswa yang menyontek demi nilai dan tugas terpenuhi tanpa mengerti apa yang mereka kerjakan. Tidak sedikit pula para siswa mengikuti tambahan pada guru mata pelajaran tertentu demi mendapatkan nilai bagus. Banyak guru yang tidak menerangkan, meremehkan siswanya, membiarkan siswanya tidak bisa, mengajarkan siswanya bahwa nilai dapat dibeli dengan uang, dan perilaku yang sering terjadi pada saat siswanya menghadapi UN, yaitu tidak percaya akan kemampuan siswanya.
Nilai adalah sesuatu yang kita peroleh dari perilaku atau usaha kita. Namun, nilai perilaku jarang diperhitungkan. Apakah perilaku pada nilai rapor diberikan sebagaimana mestinya? Rasanya nilai perilaku hanya formalitas terpenuhinya nilai rapor dengan mencantumkan huruf A, B, atau C. Lain halnya dengan nilai mata pelajaran. Apakah kita pernah mendengar syarat mendapat beasiswa adalah nilai kerapihan, kejujuran, kedisiplinan, kerajinan minimal B? Kita lebih sering mendengar, untuk syarat mendapatkan beasiswa minimal nilai marematika, akutansi, geografi, fisika atau nilai eksak lainnya rata-rata 75. Dengan giat, setiap siswa pun akan mengejar angka diatas 75. Bagaimana jika seorang siswa tersebut dihadapkan dengan guru yang pelit? Siswa tersebut akan berjuang mendapatkan nilai diatas 75 dengan menghalalkan segala cara. Banyak siswa yang berpikir, “Belajar sampai malam belum tentu nilainya bagus, kalau open book, pasti jawabannya bagus dan peluang mendapat nilai bagus pun terbuka lebar.” Pernahkah kita membayangkan seorang guru memberikan nilai lebih dari nilai KKM baik untuk siswa yang diremedial ataupun yang tidak? Mungkin semua siswa tidak akan menghalalkan segala cara. Remedial terus menerus sampai mendapat nilai sesuai KKM tidak salah, tetapi memberikan 3 poin diatas nilai KKM sebagai nilai perjuangan remedial, apa salahnya?
Jika kita membuka kamus bahasa Inggris atau bahasa Indonesia dan mencari arti kata remedial, remedial berarti perbaikan. Mari kita artikan sendiri apa yang dimaksud dengan perbaikan. Banyak siswa yang dipusingkan dengan pengertian remedial yang sebenarnya, dan tidak sedikit pula para guru yang salah mengartikan arti remedial yang sebenarnya. Misalnya, kita remedial mata pelajaran A. Guru mata pelajaran A menyuruh siswa yang mengikuti remedial membeli barang. Apakah barang tersebut ada kaitannya dengan mata pelajaran A? Walaupun ada, akan lebih baik apabila remedial tersebut berbentuk soal. Bukannya pemerintah menyediakan anggaran untuk penunjang pembelajaran? Uang bisa dicari, barang bisa dibeli, tapi ilmu tidak bisa dibeli. Ilmu mudah didapat tapi sulit dimengerti. Apakah nilai yang kita inginkan dapat dibeli dengan uang? Tak heran jika sekarang banyak para pejabat yang korupsi dan melakukan money politic demi mendapatkan jabatan karena dari dulu mereka diajarkan bahwa semuanya dapat dibeli dengan uang.
Seorang guru berhak memberikan nilai pada siswanya dan memberi tahu kriteria penilaiannya. Tapi apakah seoarang guru pernah mengajarkan bagaimana seorang siswa harus berjuang demi mendapat nilai darinya? Mungkin ada sebagian guru yang mengajarkan itu semua, tapi seorang siswa juga memperhitungkan kebiasaan guru tersebut. Jika guru itu malas membaca tugas para siswa dan hanya membubuhkan tanda tangan sebagai pengahargaan bagi usaha siswa mengerjakan tugas, para siswa juga cenderung mengerjakan tugas dengan asal-asalan dan menyalinnya dari internet atau temannya tanpa mereka mengerti apa yang mereka salin. Sebenarnya apa tujuan guru memberi tugas tersebut? Untuk nilai atau agar siswanya mengerti materi yang ditugaskan? Kebanyakan para siswa akan memilih pekerjaan instan, yaitu menyalin. Apa bedanya tanda tangan yang diberikan guru untuk tugas seorang siswa yang menyalin tugasnya dari teman dengan hasilnya sendiri? Apa istimewanya tanda tangan yang diberikan guru untuk tugas yang dikerjakan asal-asalan dengan tugas yang dikerjakan sungguh-sungguh hingga mereka mengerti?
Begitu sulit nilai yang harus kita kejar, begitu sulit nilai yang guru berikan pada kita, dan betapa sering kita kecewa akan nilai yang kita peroleh. Tidak jarang orang tua yang rela mengeluarkan uang agar anaknya mendapat nilai yang bagus dengan mengikuti tambahan. Dan tidak heran pula apabila guru mengadakan tambahan bagi siswanya. Tidak ada yang salah dengan guru yang memberikan tambahan pada siswanya, yang salah adalah seorang guru yang memberikan nilai lebih dan membocorkan soal dan jawaban ulangan pada siswa yang mengikuti tambahan dengannya. Sebenarnya tujuan guru memberikan tambahan untuk apa? Untuk mendapatkan uang atau membantu siswanya untuk lebih mengerti pelajaran? Tujuan siswa mengikuti tambahan itu untuk apa? Untuk mendapat nilai bagus atau lebih mengerti pelajaran. Kita dididik dengan cara yang salah, dan dengan cara yang salah pula kita akan membangun masa depan yang baik untuk diri kita sendiri tanpa mementingkan orang lain.
Pengajaran pada umumnya adalah suatu hal yang sangat penting dalam dunia pendidikan selain mendidik, mengajar juga perlu diperhatikan walaupun kegiatan akademis yang berkaitan dengan hal-hal kognitif merupakan urutan kedua setelah pendidikan karakter. Pengajaran di sekolah-sekolah yang diterapkan di Indonesia kini mulai menyimpang dan kehilangan arah, karena banyak para pengajar yang hanya sekedar mengajar. Pengajaran adalah proses belajar atau proses menuntut ilmu. Ada dosen, guru, ustadz yang mengajar atau menyampaikan ilmu kepada murid yang belajar. Hasilnya murid menjadi pandai, dan berilmu pengetahuan (‘alim). Pengajaran tanpa pendidikan akan menghasilkan masyarakat yang pandai tetapi rusak akhlaknya atau jahat. Sebaliknya mendidik saja tanpa memberi ilmu akan menghasilkan individu yang baik tetapi tidak berguna di tengah masyarakat.
Setiap manusia terlahir dengan potensi masing-masing. Tanpa digali dan dikembangakan potensi tersebut tidak ada apa-apanya. Menuntun manusia agar potensinnya dapat menjadi sesuatu yang berharga adalah tugas seorang guru. Walaupun ini adalah zaman KTSP, dimana seorang siswa harus lebih aktif dibandingkan gurunya, tapi tetap saja tugas seorang adalah menerangkan dan memberi nilai. Betapa bangganya seorang guru yang menerangkan suatu materi pada siswanya, dan suatu hari nanti beliau dapat melihat siswanya sukses karena materi yang beliau ajarkan. Dialah guru yang sukses, guru yang mengemban tugas negara dengan baik. Lain halnya denga guru yang terus menerus menyuruh siswanya belajar sendiri dengan membaca buku. Berarti apabila siswa tersebut sukses, pengarang bukulah yang sukses karena berkat dia, siswa tersebut dapat sukses.
Tidak sedikit guru yang salah mengartikan apa itu KTSP. Apakah dalam KTSP seorang guru hanya memberi tugas dan nilai saja? Ataukah dalam KTSP, seorang siswa dituntut untuk bertanya apa yang tidak dimengerti dan guru tersebut akan menjelaskannya untuk siswa yang bertanya saja? Banyak siswa yang dibiarkan tidak bisa karena ia malu bertanya pada gurunya. Banyak guru yang menganggap siswa yang tidak bertanya sudah bisa. Tak sedikit pula guru yang membiarkan siswanya berperilaku seenaknya saat guru berada di kelas. Jangan salahkan siswa sepenuhnya apabila saat ulangan terjadi kecurangan karena siswa tak tahu apa yang harus mereka isi saat lembaran soal dibagikan. Bukankah guru itu sendiri yang membiarkan siswa tersebut tidak bisa dan para siswa menganggap guru itu selalu perhatian pada penanya dan menerangkan untuk penanya? Tak heran apabila banyak anggota DPR yang tertidur saat pemimpinnya sedang berbicara karena dari dulu mereka diajarkan bahwa orang yang berbicara itu bukan untuk dirinya, tetapi untuk orang yang mengajukan pertanyaan pada pemimpin tersebut.
Selain manusia terlahir dengan potensinya masing-masing, setiap manusia juga terlahir dengan kekurangannya masing-masing. Tidak ada yang salah dengan kekurangan yang dimiliki orang lain, yang salah adalah saat kita tak pernah berusaha melengkapi kekurangan orang lain tersebut. Kekurangan ada bukan untuk kita remehkan, tetapi kekurangan ada untuk kita lengkapi. Bisa saja seorang siswa kurang dalam pelajaran bahasa Inggris, tapi apakah sudah dapat dipastikan bahwa siswa tersebut juga kurang dalam pelajaran bahasa Indonesia? Salah besar jika seorang guru menganggap anak didiknya bodoh hingga beliau melontarkan pertanyaan, “Selama SD, SMP, kalian ini belajar apa saja? Masa menghadapi soal begini saja tidak bisa?” Harusnya beliau bertanya pada dirinya sendiri, “Sudah berapa lama saya menjadi guru, dan sudah berapa kali saya menghadapi murid seperti ini?”
Guru yang baik akan menghargai kekurangan dan kelebihan siswanya. Dan guru yang mendukung siswanya adalah guru yang percaya akan kemampuan siswanya. Guru yang membocorkan soal ulangan atau mengerjakan soal UN lalu menyebarluaskan kunci jawabannya kepada siswanya, berarti guru tersebut tidak percaya dengan kemampuan siswanya dan kemampuan dirinya dalam mengajar. Seharusnya guru percaya pada siswanya bahwa mereka bisa dan pasti bisa. Dengan membocorkan kunci jawaban atau membocorkan soal, sama saja dengan membuat para siswa berpikir betapa sulitnya soal UN hingga para guru turun tangan dan para guru mengajarkan siswanya untuk tidak jujur. Memang dibalik kesulitan itu pasti akan ada kemudahan. Tapi mendapatkan kunci jawaban bukanlah kemudahan yang dimaksud. Itu semua mengajarkan kita untuk berbuat tidak jujur dan tidak percaya dengan kemampuan kita sendiri dan menyia-nyiakan alat indra yang Tuhan kasih kepada kita.
Belajar adalah suatu upaya pembelajaran untuk mengembangkan seluruh kepribadiannya, baik fisik maupun psikis. Belajar juga dimaksudkan untuk menggembangkan seluruh aspek inteligensi sehingga anak didik akan menjadi manusia yang utuh, cerdas secara inteligensi, cerdas secara emosi, cerdas secara psikomotornya, dan memiliki keterampilan hidup yang bermakna bagi dirinya. Dengan kata lain siswa pembelajar harus mampu mengembangkan potensi dirinya dalam berbagai ranah belajar. Ilmuan Robert M. Gagne mengemukakan sebuah teori belajar yang menggabungkan ide-ide behaviorisme dan kognitivisme dalam pembelajaran. Menurut Gagne, dalam proses pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi interaksi antara kondisi internal dengan kondisi eksternal individu. Kondisi internal adalah keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi di dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Kondisi eksternal ini oleh Gagne disebut sebagai sembilan peristiwa. Teori Robert M. Gagne tentang pembelajaran terdiri atas tiga prinsip, yaitu syarat-syarat pembelajaran, sembilan peristiwa pembelajaran, dan taksonomi hasil belajar. Dalam bukunya yang berjudul The Conditions of Learning (1970), Gagne mengemukakan delapan macam tipe belajar yang membentuk suatu hierarki belajar yang paling sederhana sampai dengan yang paling rumit. Kedelapan hierarki tersebut sering diterapkan dalam pembelajaran tuntas disamping taksonomi Blom. Berkaitan dengan proses pembelajaran, Gagne berpendapat bahwa tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase, yaitu: motivasi, pemahaman, pemerolehan, penyimpanan, pegingatan kembali, generalisasi,perlakuan, dan umpan balik. Sembilan peristiwa pembelajaran menurut Gagne adalah sebagai berikut:
- Memberikan perhatian. Contoh sederhana tunjukkan es krim, ceritakan kelezatan yang diperoleh dari memakannya.
- Memberi tahu siswa tentang tujuan pembelajaran, biarkan siswa mengetahui apa yang akan dipelajarinya. Contohnya: “ Hari ini, kita akan belajar membuat es krim “.
- Dibangun atas pengetahuan yang telah lalu. Contohnya “ Apakah ada yang pernah membuat es krim ? Dimana, kapan, dan bahan apa saja yang diperlukan ? “
- Menyajikan pembelajaran sebagai rangsangan. Contoh: Tunjukan kepada siswa bagaimana membuat es krim.
- Memberikan panduan belajar, bantulah siswa agar dapat mengikuti pembelajaran dengan baik pada saat pembelajaran berlangsung.
- Menampilkan kinerja, mintalah para siswa mengerjakan apa-apa yang baru dipelajarinya. Contoh, berikan kepada siswa bahan-bahan untuk membuat es krim dan mintalah agar membuat es krim sendiri.
- Memberikan umpan balik, beritahu siswa kinerjanya masing-masing. Contoh, guru berkeliling kelas melihat bagaimana setiap siswa membuat es krim.
- Menilai kinerja, nilailah siswa tentang pengetahuannya mengenai topik pembelajaran. Contoh: amati es krim hasil karya siswa, jika mereka benar cara membuatnya diperbolehkan memakannya.
- Meningkatkan retensi/ingatan dan transfer pengetahuan. Bantulah siswa dalam mengingat-ingat dan menerapkan keterampilan baru itu. Contoh, siswa ditugasi membuat es krim pada saat karya wisata sekolah.
Sembilan peristiwa pembelajaran tersebut oleh Gagne secara tidak langsung juga telah menggambarkan langkah-langkah pembelajaran menurut Gagne.
Dari observasi yang saya lakukan, saya menemukan beberapa masalah dari 4 macam aspek dan menurut saya ada satu masalah dari aspek efektif dan efisien yang menarik perhatian. Yaitu masalah yang berkaitan dengan pengajaran siswa dengan pengajar yang tidak sesuai dengan pendidikan terakhir mereka, mungkin masalah ini juga sering kita dapatkan di beberapa sekolah lainnya. Tetapi masalah ini sangat menentukan hasil belajar siswa yang jika diajar oleh guru yang tidak profesional di bidangnya, maka siswa tersebut tidak akan mendapatkan pengajaran secara maksimal.
Jika dikatakan guru atau pengajar tersebut mengajar yang bukan keahliannya maka semua hasil proses kegiatan belajar mengajar akan berdampak negatif terhadap siswa, yang lagi-lagi siswa tidak akan mendapatkan pengajaran secara total dari guru tersebut. Berdasarkan teori yang saya lihat tentang masalah ini, guru adalah seorang pendidik yang harus memiliki persyaratan yang berkaitan dengan kompetensi (kemampuan profesional) dari guru tersebut. Karena kemampuan profesionanl yang dimiliki oleh guru akan menentukan kualitas/mutu dari profesi guru tersebut.
Dalam studi basic Education Quality (EPP,1992) ditemukan bahwa guru yang bermutu ditentukan oleh 4 faktor utama, yaitu: (1). Kemampuan profesional, (2). Upaya profesional, (3). Waktu yang tercurah untuk kegiatan profesional, (4). Akuntabilitas. Seorang peserta didik tidak akan efisien melakukan pembelajaran jika pengajar/guru tersebut tidak menguasai mata pelajaran yang akan diajarkan secara keseluruhan, karena bisa dilihat dari kemampuan mengajar seorang guru tersebut.
Seorang peserta didik harus mendapatkan umpan balik (feed back) yang sesuai, semua itu dilihat dari pentingnya aktivitas dalam kegiatan pendidikan yang juga mementingkan peserta didik karena peserta didik berhubungan dengan diperolehnya umpan balik dalam kegiatan pendidikan yang secara tidak langsung juga melibatkan pengajar (guru) yang memiliki peran penting dalam aktivitas pendidikan. Berdasarkan teori kependidikan, setiap kegiatan yang berorientasi kepada tujuan memerlukan umpan balik dari pelaksanaan usaha pencapaian tujuan itu. Tanpa adanya umpan balik tersebut, sulit dapat diketahui apakah kegiatan yang sedang dilakukan cukup efektif untuk mencapai tujuan atau tidak. Dengan memperoleh umpan balik pada kegiatan pendidikan yang sedang berjalan, pendidik dapat mengubah kegiatan pendidikan yang sedang dilaksanakan itu.
Fenomenologi merupakan sebuah studi dalam bidang filsafat yang mengajari manusia sebagai sebuah fenomena. Fenomena atau fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa fonomenalisme (gejala) adalah sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran. Edmund Hursell adalah seorang tokoh fenomenologi, yaitu selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum.
Tinjauan keseluruhan tipe pemahaman tingkah laku orang beragam ini tepatnya untuk menangkap makna lebih dalam dari dan intensionalitas dari data religius orang lainyang merupakan ekspresi-ekpresi dari pengalaman religius dan imannya lebih dalam. Seperti kita lihat, sejarah agama membahas aspek-aspek yang paling pokok dari kehidupan manusia sampai menjadi dasar sepenuh-penuhnya bahwa agama adalah sesuatu yang paling dalam dan paling luhur dalam wilayah eksistensi spiritual dan intelektual manusia. Meskipun disadari batas-batasnya dalam tugas memasuki kedalaman pengalaman dari suatu jiwa religius.
Kejujuran memang pahit, tapi akan indah di akhir. Kejujuran memang datang dari diri sendiri dan untuk diri sendiri pula, tapi tidak ada salahnya mencontohkan kejujuran untuk orang lain dan mendidiknya untuk berperilaku jujur. Betapa indahnya negara ini berkembang dengan kejujuran. Tidak ada korupsi dan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dapat berarti sesuai dengan arti yang sebenarnya. Tidak ada yang salah dengan kondisi bangsa ini karena semenjak bersekolah kita mencontohkan perilaku yang tidak jujur dan dididik untuk tidak jujur. Lihatlah, ilmu yang kita cari tidak bisa mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Uang yang kita pakai untuk memperoleh nilai ini tidak dapat mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang maju. Dan nilai yang kita peroleh tak pernah bisa menggeser negara maju nomor 1 di dunia, tetapi nilai yang kita peroleh telah mengantarkan bangsa ini menjadi negara korupsi peringkat ke 4 di dunia. Walaupun kejujuran tak pernah bisa menggeser negera maju nomor 1 di dunia dan mengantarkan negara ini menjadi negara maju, tetapi setidaknya kejujuran dapat membuat bangsa ini menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera.
Berdasarkan teori dan permasalahan diatas dapat dilihat jika proses kegiatan belajar mengajar dilaksanakan oleh guru yang tidak sesuai dengan bidangnya, maka peserta didik tidak akan mendapatkan pengajaran yang maksimal dari kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan, dan akan menghasilkan output yang kurang berpotensi.
Masalah ini bisa kita amati secara konkrit dengan melihat contoh dari proses pengajaran yang dilaksanakan tidak sesuai dengan bidangnya yaitu seperti seorang guru yang lulusan sarjana agama mengajar mata pelajaran ekonomi, dapat dilihat bahwa seorang guru sarjana agama yang pasti tentunya lebih menguasai bidang keagamaan, akan tetapi ia mengajar mata pelajaran ekonomi yang jauh hubungannya dengan apa yang telah dikuasai guru tersebut. Jika sang guru juga menguasai pelajaran ekonomi, tetapi ia tidak akan mengajar secara maksimal karena tidak seluruh mata pelajaran ekonomi dikuasai olehnya.
Menurut saya masalah ini bisa sedikit diatasi dengan merencanakan semua pengajar di sekolah tersebut lebih bermutu dan mengajar lebih sesuai atas keahlian mereka dengan apa yang seharusnya diajarkan kepada siswa, caranya merekomendasikan kepada guru untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG) atau dengan cara mengikuti pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajara yang akan diajarkan kepada siswa, dan mungkin masalah ini juga dapat diatasi dengan dilihat dari guru yang mengajar mata pelajaran tidak sesuai dengan pendidikan terakhir mereka, tetapi guru tersebut setidaknya memiliki upaya profesional yang antara lain diwujudkan dengan penguasaan kahlian dalam penyusunan program pengajaran sesuai tehap perkembangan anak, lalu menyiapkan pengajaran, dan dapat menggunakan bahan-bahan ajar secara maksimal dan sesuai.
Dapat diambil kesimpulan dari paragraf diatas bahwa setiap kegiatan belajar mengajar perlu adanya aspek keefektifan di bidang kependidikan maupun di bidang pengajaran. Karena dengan demikian dapat menghasilkan peserta didik yang lebih berpotensi dan lebih menguasai bidangnya, semua itu sangat berkaitan dengan seorang pendidik dan pengajar yang profesional dan dapat mengajar serta mendidik siswa secara maksimal. Jika seorang pengajar mengajar tidak sesuai dengan keahliannya akan berdampak negatif terhadap siswa, dan pengajar tersebut seharusnya telah menguasai mata pelajaran sebelum diajarkan kepada siswa.
Daftar Pustaka
Ali, Maksum. 2007. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: PusApom Press.
Mariasuasi, D. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Sony, K dan Mikhael. 2001. Dua Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
Suyono dan Hariyanto. 2014. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Zaqhlul, An-Najjar. 2006. Pembuktian sains dalam Sunnah Jilid 2. Jakarta: Amzah.
0 komentar:
Posting Komentar